Saturday, February 5, 2011

Samurai-X dan Simbol Perlawanan

















He..he.. jadi inget masa muda. Kemarin saya jalan-jalan ke Dago Festival bagian Warung Sastra. Wui..h bukunya nyaris merah semua, mulai dari Che, Mbah Jenggot, Tan, Pram, dan sastra. Kalo dipikir-pikir komunitas indies emang deket ke arah perlawanan yang sifatnya underground. Ini sih pengamatan sekilas aja. Waktu saya masih SMA, buku-buku merah menjamur karena isu tentang pencabutan TAP MPRS XXV/1966 lagi santer, lagian kan segala hal yang dilarang itu menarik. Tapi sekarang udah lumayan berimbang, mulai dari buku merah, buku agama sampai buku-buku instan semacam 7 Habits, Chicken Soup dan berbagai buku manajemen. Meski dikomunitas tertentu tetep aja ada yang seneng menjual buku-buku dengan ideologi tertentu.

Sama waktu SMA dulu… Kayanya keren aja kalo bisa melakukan sesuatu yang dilarang atau membutuhkan keberanian khusus. Salah satunya nonton film Samurai-X. Setengah mati ngakalin biar bisa nonton, mulai dari ngerjain ujian dalam waktu sesingkat-singkatnya biar keburu ngejar jam3, sampai ngebalikin absen ke ruang guru biar bisa nebeng nonton. Kadang-kadang ada yang nanya juga, koq rajin banget ngembaliin absen, ada juga guru yang cengar-cengir maklum. Namanya juga perjuangan, butuh pengorbanan, ya ngga sih?!

Pas kuliah tamu kemarin ada satu cerita menarik mengenai tension, yaitu tekanan yang dibutuhkan agar seseorang dapat mencapai visi hidupnya. Saya jadi sering bertanya-tanya, apa ya visi hidup saya. Udah gitu, semakin ditekan biasanya saya jadi makin memberontak. Ya..h ini sih udah hukum alam. Kaya kondisi dakwah tahun 1980, dimana tekanan dari pemerintah cukup keras terhadap gerakan dakwah. Hasilnya, terbentuklah orang-orang yang militan memperjuangkan Islam(eits… militan disini maksudnya ia menjalankan apa yang diyakininya secara menyeluruh). Pokoknya semakin kuat tekanan, manusia yang terbentuk juga akan semakin kuat dan solid. Mirip sama teori sosiologi yang bilang ada negara yang senantiasa mencari musuh agar kondisi dalam negerinya senantiasa bersatu, perlu tekanan dari luar biar bisa utuh.

Selain alasan bersama(atau visi bersama) diperlukan juga sebuah figur. Indonesia dulu punya Soekarno yang mampu menggerakkan puluhan ribu massa, meski himbauan itu hanya didengar lewat radio. Iran punya Khomeini, Cuba ada Che Guevera, trus ada banyak revolusi lain lagi yang menghadirkan seorang tokoh pembaharu. Kalau sekarang, salah satu tokoh paling simbolis di Indonesia adalah Aa’ Gym. Segala tindakannya jadi sorotan publik, dan secara ngga langsung jadi kekuatan tersendiri. Contoh kasus yang baru-baru ini terjadi adalah pencabutan film BCG, yang mendapatkan tanggapan luas karena didukung oleh Aa’ Gym. Coba kalau yang maju MUI sendiri, mungkin malah ada tudingan sok suci. Bukannya pesimis, tapi zaman sekarang banyak orang yang sudah sedemikian kehilangan arah, sehingga akhirnya berserah pada sebuah simbol/ikon tertentu, dan apapun yang dilakukan oleh ikon tersebut akan ia terima, entah masuk akal apa ngga.

Dulu nonton Samurai-X juga jadi semacam simbol perlawanan, terhadap kemapanan waktu ujian dan segala macam peraturan asrama. Ada semacam kemenangan kalau punya cara baru agar bisa tetap nonton. Kayanya semua orang punya sisi seperti itu deh. Bahkan peredaran buku kiri lebih sering saya pandang sebagai sebuah tren. Bukan mau ngga percaya akan kemurnian perjuangan, tapi selain isi perlawanan itu sendiri, berada dalam kondisi tidak mapan, anti kapitalisme, copyleft dll merupakan sebuah daya tarik tersendiri. Kondisi tidak terikat, bebas dan beda…

Salah satu contoh ya komunitas punk. Mungkin masih ada yang bener2 mengusung semangat perlawanan terhadap kemapanan dan kekakuan. Tapi belakangan aksesoris mereka malah masuk ke toko-toko besar yang ujungnya tetap aja kapitalisme. Ada semangat yang diperjuangkan, tapi menjadi luntur kalau hanya dikaitkan dengan materialisme(baca:apa yang terlihat secara fisik). Tapi saya tetap salut ama wacana mereka, waktu itu pernah ngobrol dan asli dalem banget.

Kadang saya menganggap kondisi yang ada sekarang harus dirubah dengan perubahan total. Semacam revolusi total gitu… Tapi karena saya ngga suka konflik jadinya agak susah juga. Apalagi kalau ngedenger cerita dari sudut yang berbeda suka kasian ama orang yang terkena kasus. Lagian kalo mau ngerunut ama sistem, ya ini salah sistemnya, kenapa sistem kontrolnya kurang kuat untuk menahan elemen-elemen agar senantiasa berada di jalan yang bener. Lagi-lagi perubahan total…

Solusi yang lain adalah perubahan yang berasal dari akar rumput. Salah satunya ya membangun sebuah komunitas, gerakan moral yang memperoleh dukungan massa. Gerakan ini udah mulai jalan, pewacanaan kondisi politik-ekonomi, keterlibatan tokoh-tokoh nasional semacam Aa’ Gym dalam mengkritisi kondisi nasional dll. Ada beberapa dilema, pertama masyarakat seperti apakah yang hendak dicapai oleh pewacanaan kondisi politik-ekonomi, apakah masyarakat yang kritis sehingga mampu mengkontrol kebijakan-kebijakan pemerintah atau yang penting adalah menghadirkan seorang tokoh yang sempurna, adil, baik, cerdas, kompeten yang mampu menjadi pilot perubahan?

Kalau pilihannya adalah mencerdaskan rakyat, ada parameter waktu dan dampak. Seberapa cepat seseorang dapat meninggalkan semua tradisi yang telah dijalaninya selama bertahun-tahun dan turun temurun. Termasuk juga mengenai seberapa luas tanggungjawab diri sebagai makhluk sosial. Contoh pengemis, sebenernya yang terganggu dengan kehadiran pengemis itu siapa, negara karena kalau ada tamu dari luar negeri bikin malu aja(padahal kalo ngga ketahuan ngga masalah, terbukti kalo ada pejabat lewat jalan bisa mendadak bersih), pejalan kaki yang pandangan matanya terganggu karena ngeliat orang dengan baju ala kadarnya, atau pengemis itu sendiri yang ngerasa tidak memperoleh hak sebagai WNI.

Dari wawancara yang saya lakuin ke beberapa orang, jawabannya mereka pasrah dengan kondisi yang ada pada diri mereka. Ada yang dilatarbelakangi suaminya di-PHK, ada juga yang karena ngga dapet pekerjaan, ada juga yang emang milih jadi pengemis walaupun sempat ditawarin kerja. Intinya, selama masih bisa makan, kenapa juga harus repot mikirin yang lain, bahkan ada yang bilang, kan ngemis itu pekerjaan yang halal. Gila banget deh, tanpa sadar kondisi mereka pun udah mapan(dalam artian mereka ngga mau repot2 merubah kebiasaan/pekerjaan mereka). Penyadaran?! Apaan tuch…
Jadi kalo dipikir-pikir yang paling terganggu dengan kehadiran pengemis adalah orang yang lalu lalang plus pemerintah. Turis ngga mau dateng, kota jadi terlihat kumuh(bahkan penjual makanan pun dianggap ngotorin kampus) semua mengeluh, kecuali pengemis itu sendiri. Terserah deh, pembenaran apa yang mau disodorin oleh siapapun juga, apakah karena keadaan ini udah berlangsung selama puluhan tahun atau gara-gara utang negara yang semakin menumpuk, yang jelas kalo ngga segera dibenahi negara ini bakal ambruk.

Hal yang paling nyebelin dari semua ini adalah, kadang semua hal yang saya lakuin terlihat ngga nyambung dengan permasalahan yang ada di luar. Seperti jalan sendiri-sendiri, dan entah kapan bakalan nyambung. Au.. ah, kadang saya memilih sembunyi aja dari realitas meski tau itu konyol banget. Kadang jadi sok tau dan suka ngajakin orang diskusi tentang hal-hal yang canggih. Hmm… mungkin semua ada waktunya sendiri, dan saya hanya harus menunggu waktu yang tepat untuk dapat menempati posisi dalam arus perubahan…

No comments:

Post a Comment